Tidak Ada Reforma Agraria Di Tangan Rezim Boneka : Galang kekuatan dan Perkokoh Persatuan Rakyat !!
“…. kita ingin menjadi sahabat semua Negara, tapi kita punya prisnsip, prinsip kita adalah prinsip anti penjajahan karena kita pernah mengalami penjajahan, kita anti penindasan karena kita pernah di tindas, kita anti rasialisme kita anti apartheid, waktu kita dijajah digolongkan lebih rendah dari anjing, banyak papan-papan dimana disebut honden en inlander vorboden, saya masih lihat prasasti di kolam renang manggarai tahun 78 honden en inlander vorboden, karena itu kita punya prinsip Kita harus solider , kita harus membela rakyat-rakyat yang tertindas di dunia ini….”
Prabowo Subianto
Banyak yang terkesima mendengar pidato menggelegar Prabowo Subianto di atas podium pada acara pelantikannya sebagai Presiden tanggal 20 Oktober lalu, kalimat-kalimat yang sangat tegas, intonasi dan gesture yang penuh wibawa, serupa seorang patriot yang berdiri gagah atas nama bangsa dan rakyat, mempertaruhkan segenap jiwa dan fikiranya untuk kemajuan negeri. Namun sayangnya, takdir negeri Setengah Jajahan-Setengah Feudal adalah rezim yang berkuasa sudah pasti merupakan pemerintahan persekutuan antara Tuan Tanah dan Borjuasi Besar Komparador yang kedalaman isi fikiran dan tindakannya sudah barang tentu akan mewakili kepentingan kelasnya.
Selepas pelantikannya, Prabowo lantas membagi-bagikan kue kekuasaannya kepada para pendukung serta pengikut setianya sebagai langkah awal untuk memulai semua rencananya. Tidak tanggung-tanggung, 136 orang dilantik untuk mengisi formasi kabinet yang disebutnya Kabinet Merah Putih yang terdiri dari 48 orang menteri (7 menteri koordinator dan 41 menteri teknis), 56 wakil menteri, 5 kepala lembaga, dan 26 utusan khusus Presiden . Formasi kabinet yang sangat gemuk dan bahkan tergemuk sepanjang sejarah bangsa yang selanjutnya hanya akan menjadi beban baru bagi anggaran negara yang sebelumnya telah habis terkoyak oleh rezim sebelumnya. Sayangnya, formasi yang sangat gemuk tersebut juga sebagian masih diisi oleh muka-muka lama yang telah tercatat gagal menghadirkan kebijakan yang baik bagi rakyat.
Mengawali 100 hari kerjanya, Prabowo mengumpulkan seluruh kabinetnya di Akmil Magelang. Tentunya bagi Prabowo ini bukanlah agenda seremonial semata melainkan sebuah pengenalan militeristik serta orientasi awal bagi semua anggota kabinet untuk memastikan menjalankan semua rencana Prabowo ke depan.
Prabowo : Rezim Baru, Boneka Baru
Era imperialisme adalah era perang, dimana Amerika Serikat sebagai imperialisme paling kuat dan memegang dominasi terus membangun hegemoninya terhadap negeri-negeri terbelakang dengan memastikan bahwa setiap rezim berkuasa di setiap negeri adalah boneka untuk mempertahankan hegemoninya. Watak monopolistik nyatanya telah membawa imperialisme pada satu kenyataan krisis yang semakin akut dan parasitis. imperialisme sama sekali tidak mampu mempertahankan keberlangsungannya tanpa terus menindas dan menghisap rakyat baik rakyat di negerinya sendiri dan terlebih rakyat di negeri jajahan dan setengah jajahan tak terkecuali Indonesia.
Tajamnya krisis telah memperkenalkan kembali istilah semacam depresi, resesi hingga stagflasi untuk menunjukkan betapa tajamnya situasi krisis yang bertubi-tubi melanda sistem imperialisme. Dalam upaya keluar dari situasi krisis tersebut tidak ada cara lain bagi imperialisme selain semakin meningkatkan drajat penindasan dan penghisapanya melalui perang dan ekspor kapital. Situasi krisis tersebut pula telah melahirkan pertentangan yang kian sengit diantara negeri Imperialis, terutama dari negeri-negeri imperialisme yang sedang berupaya menuntut pembagian kembali dunia menjadi Multipolar dibawah konsolidasi Tiongkok – Rusia yang juga tengah berebut pengaruh diantara negeri-negeri terbelakang termasuk juga Indonesia.
Sebagai pemerintahan persekutuan Tuan Tanah dan Borjuasi Besar Komparador, maka takdir Prabowo adalah menjadi rezim boneka, tidak ada hal baru yang bisa diharapkan rakyat dengan pemerintahan baru ini. Sama saja dengan perubahan – perubahan rezim sebelumnya, hanya berganti rupa namun hakikatnya sama saja, tetap saja Boneka yang akan memperpanjang nafas penderitaan rakyat.
Kebijakan-kebijakan busuk rezim sebelumnya yang telah terbukti hanya memperburuk penghidupan rakyat sama sekali tidak ada signal untuk dihapuskan oleh Prabowo bahkan justeru akan terus dilanjutkan dengan cara yang lebih brutal. Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja, Proyek Strategis Nasional, Reforma Agraria Palsu, Food Estate, Hilirisasi Industri, Proyek-proyek Transisi Energi Palsu yang merupakan produk busuk rezim sebelumnya nyatanya akan terus dilanjutkan oleh Prabowo.
Maka sudah dipastikan bahwa, Prabowo akan melanjutkan wajah politik upah murah, sebagai tukang rampas tanah, tukang gusur rumah dan ruang hidup rakyat sebagai sesaji istimewa persembahan bagi tuan Imperialis yang terbungkus rapi dengan kedok “atas nama bangsa dan negara”.
Berlanjutnya “Penipuan” Reforma Agraria “Palsu”
Setali tiga uang dengan pendahulunya, Prabowo Subianto tetap mendudukkan program Reforma Agraria palsu sebagai salah satu agenda prioritas yang harus dituntaskan melalui kementerian ATR/ BPN. Reforma agraria yang sejak dikonsepsikan di era Jokowi sangatlah bertolak belakang dengan Reforma agraria yang dihendaki rakyat karena bertentangan sepenenuhnya dan bahkan dalam implementasinya pun nyata menipu rakyat. Reforma Agraria semacam ini hanya bertujuan untuk merestorasi asas Domain verklaring dalam undang-undang Agrarische Wet kolonial Belanda yang telah ditentang habis-habisan oleh rakyat Indonesia kala itu bahkan dengan tetasan darah. konsep, kebijakan dan program RA Palsu, dipastikan mengulang penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh Rezim Fasis Suharto (1968-1998) atas konsep dan azas Hak Menguasai Negara (HMN), dimana tanah, hutan dan semua sumber daya alam terkonsentrasi penguasaanya kepada segilintir tuan tanah besar, borjuasi besar komprador dan kapitalis birokrat.
Reforma agraria yang akan dilanjutkan Prabowo adalah Reforma agraria yang telah terbukti hanya menyuburkan praktik monopoli dan perampasan tanah. Ia tidak saja palsu, tetapi juga terbukti menipu dalam pelaksanaannya.
Menuju 100 hari kerjanya, dalam hal kebijakan Agraria, Prabowo telah menetapkan beberapa kebijakan sebagaimana dikutip melalui pernyataan Nusron Wahid (MenterinATR/BPN) sebagai berikut :
1.Penataan ulang pemberian konsesi lahan-lahan negara dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) dengan catatan tidak mengganggu iklim investasi dan keberlanjutan
2.Optimalisasi pemanfaatan lahan negara yang selama ini tidak digunakan secara produktif, harus segera dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan seperti perumahan, pembangunan kawasan, perkebunan atau pertanian
3.Penyelesaian sengketa tanah harus segera diprioritaskan agar ada kepastian hukum karena menjadi penghambat rencana pembangunan
Dari ketiga kebijakan agraria prioritas tersebut, tersirat 3 kata kunci utama, yaitu : Investasi, Lahan Negara dan Pembangunan. Tujuan terpentingnya adalah untuk memastikan bahwa tanah harus diorientasikan bagi kepentingan Investasi dan pembangunan sebagaimana yang diamanatkan Imperialisme, serta memperkuat klaim negara atas tanah-tanah rakyat sebagai lahan negara melalui Bank Tanah yang menjadi alat untuk menyita tanah-tanah rakyat atas nama kepentingan negara. Di balik kepentingan negara, sesungguhnya kepentingan investasi dan pembangunan dari finance capital negeri-negeri Imperialis.
Di sektor kehutanan, dapat dipastikan bahwa tidak ada kawasan Hutan yang benar-benar dilepaskan Prabowo dan dibagikan kepada rakyat kecuali untuk kepentingan perluasan perkebunan besar, pertambangan besar dan food estate. Alih-alih membagikan tanah, Prabowo justeru meminta kementerian kehutanan untuk segera mendata semua kawasan hutan. Kebijakan demikian ini, di satu sisi mempertegas klaim negara atas hutan dan sumber dayanya, dan melanjutkan perampasan tanah-tanah rakyat atas nama negara cq. kementerian kehutanan sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulunya.
Sebagai respon terhadap tuntutan para pemukim dan penggarap hutan, maka program Perhutanan Sosial (PS) melalui skema sewa tanah sejenis kebijakan “Tanam Paksa ala Kolonial Belanda yang represif tetap menjadi pilihan Prabowo sebagai “solusi tenurial palsu”, sebagaimana program yang dipraktekan oleh rezim pendahulunya.
Berlanjutnya Era Tukang Gusur Tanah Rakyat
Proyek Strategis Nasional (PSN), sejak ditetapkan oleh Pemerintahan Jokowi pada tahun 2016, telah menjelma menjadi Penggusuran Strategis Nasional. Tidak terbilang jumlah tanah-tanah rakyat, rumah-rumah dan ruang hidup rakyat telah digusur, dan terancam untuk digusur atas nama kepentingan “strategis” Nasional ini.
Penggusuran demi penggusuran tersebut akan terus berlanjut di era Prabowo. Tidak lama berselang, setelah Gibran Rakabuming Raka sang wakil Presiden dilantik, ia segera meninjau sejumlah pembangunan Proyek Stategis Nasional. Motifnya, sekedar membangun politik pencitraan, akan tapi lebih penting dari itu untuk memberikan pesan lugas bahwa proyek penggusuran yang telah dimulai oleh bapaknya akan Ia lanjutkan bersama Prabowo.
Pembangunan IKN, Rempang Eco City, KEK Mandalika Resort, Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dan sejumlah pembangunan kawasan industri lapar lahan akan tetap menjadi program prioritas pembangunan Prabowo dengan ditopang oleh sejumlah projek infrastruktur dasar, seperti pelabuhan, jalan tol, bandara, bendungan, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu, bukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur rakyat, melainkan untuk memudahkan pengangkutan hasil-hasil eksploitasi bahan-bahan mentah dari kekayaan alam Indonesia dari daerah-daerah pedalaman menuju pabrik-pabrik pengolahan miliki Imperialis, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, serta untuk menampung export finance capital negeri-negeri imperialis agar tidak membusuk nilainya.
Restorasi “Revolusi Hijau” Yang Usang dan Terbukti Gagal
Di bawah pemerintahan Prabowo, kementerian transmigrasi dipisahkan dan menjadi kementerian tersendiri. Tujuannya, agar kementerian ini benar-benar dapat diperankan sebagai agen mobilisasi tenaga kerja murah, sebagaimana politik etis di masa kolonialisme Belanda, maupun program transmigrasi di era Rezim Suharto. Pada saat yang bersamaan, tenaga-tenaga murah dari Jawa sebagai pulau yang padat penduduk tersebut, dapat dimobilisasi ke pulau-pulau kurang padat, seperti Sulawesi, Kalimantan dan Papua dalam perkembanganya, untuk membuka rimba dan mengubah tanah-tanah tidak produktif menjadi tanah produktif. Cara kotor negara demikian ini, dimaksudkan untuk menyediakan tanah bagi ekspansi perkebunan skala besar, sawit dan kayu.
Untuk tujuan itu, Prabowo melalui Menteri Transmigrasinya mengumumkan bahwa sebagai langkah permulaan, ia telah menyiapkan 121 kk untuk segera bermigrasi ke Poso Sulawesi Tengah. Untuk meyakinkan, kepada para transmigran, dijanjikan insentif lahan seluas 2 Ha yang dinyatakan sebagai bagian dari implementasi Reforma Agraria. Untuk menutupi penipuan dan kebusukannya, para transmigran disanjung sebagai ‘patriot”. Bahkan, menteri transmigrasi menyatakan bahwa program transmigrasi akan dilakukan ke wilayah timur Indonesia, terutama ke papua dengan dalih untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan daerah-daerah di Indonesia, dan benar-benar utuh menjadi NKRI baik pada aspek kesejahteraan maupun persatuan nasional. Dibalik itu semua, yang terjadi sesungguhnya menempatkan para transmigran sebagai tameng hidup dan umpan meriam untuk gerakan pembebasan nasional rakyat Papua, dimana selama ini negara gagal mengalahkan dan menundukan gerakan dan perjuangan pembebasan nasional rakyat Papua tersebut.
Era Swasembada Palsu
Swasembada menjadi kata yang berulang-ulang diucapkan Prabowo dalam pidato kenegaraannya. Swasembada yang dimaksud merujuk pada 2 sektor utama yaitu Pangan dan Energi. Swasembada Pangan ala Prabowo adalah program food estate, yaitu program yang sejak era Jokowi dibangga-banggakan, meskipun gagal, bahkan menipu. Rakyat tidak akan pernah lupa atas peristiwa pembabatan ratusan hektare hutan meranti di Kalimantan Tengah untuk penanaman singkong, kemudian diubah ke tanaman Jagung dalam “polybag” sebagai program food estate yang gagal.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan bahwa tidak sulit baginya untuk mewujudkan swasembada pangan sebagai target yang diperintahkan oleh Prabowo. Dengan congkaknya, ia menyatakan bahwa pada era Pemerintahan Jokowi, dimana ia menjabat sebagai menteri pertanian telah berhasil mencapai swasembada pangan sebanyak 4 kali, yaitu pada tahun 2017, 2019, 2020 dan 2021. Sial bagi Andi Amran Sulaiman, karena pada periode tahun yang disebutkan, Indonesia melakukan impor beras. Pada tahun 2017 impor beras mencapai 305,27 ribu ton, tahun 2019 impor beras sebanyak 444,50 ribu ton, tahun 2020 sebanyak 356,29 ribu ton dan pada tahun 2021 sebanyak 407,74 ribu ton. Lalu, swasembada untuk bahan pangan jenis apa yang diklaim pernah dicapai oleh Andi Amran Sulaiman???
Lain lagi dengan Swasembada energi, Swasembada energi yang dimaksudkan Prabowo adalah mengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan menggunakan Bioetanol, Bahan Bakar Gas, Kendaraan Listrik, Hidrogen dan Bioavtur. Kesemua itu, bukanlah konsep baru. Rencana ambisius tersebut membutuhkan lahan yang luas, teknologi yang tinggi dan anggaran yang besar. Karena itu, dapat dipastikan bahwa yang dilakukan Prabowo, sebagaimana yang dilakukan rezim sebelumnya adalah menyediakan lahan dari hasil-hasil rampasan tanah rakyat untuk perluasan perkebunan, hutan tanaman energi dan pertambangan nikel serta gas alam.
Siapa yang diuntungkan kebijakan swasembada energi palsu demikian ini???
Para pengusaha besar, baik Pengusaha Besar Komparador dalam negeri maupun pengusaha Besar Asing (baca: Imperialisme) adalah pihak yang akan mendapatkan keuntungan berlipat-lipat karena mendapatkan lahan luas, bahan mentah murah, tempat ekspor kapitalnya melalui hutang dan investasi, dan pasar bagi hasil produksi industri teknologinya.
Berlanjutnya Era Hilirisasi
Hilirisasi Indusrti berbeda dengan Industrialisasi Nasional. Industrialisasi Nasional dibangun dan dikembangkan atas dasar land reform sejati. sedangkan, hilirisasi industri sebagai cara meluaskan, atau ekspansi atas capital finace negeri imperialis. Di era sebelumnya, fokus hilirisasi industri pada pertambangan nikel dan kelapa sawit, sedangkan di Era Prabowo, hilirisasi direncanakan meluas ke berapa komoditas penting lainnya, dari tambang, perkebunan hingga hasil laut.
Pada periode pemerintahan Jokowi, sebagaimana yang diakui oleh Bahlil Lahadalia, yang saat itu menjabat sebagai Menteri ESDM, menyebutkan bahwa 85 persen hilirisasi nikel dikuasai oleh asing. Pengakuan jujur yang menyedihkan itu, menguak kebobrokan dan kepalsuan kebijakan hilirisasi yang sejak awal digembar-gemborkan seolah-olah sebagai kebijakan industrialisasi nasional. Kenyataannya, kebijakan itu memberikan jalan lapang bagi penguasaan asing dan penjarahan atas sumber kekayaan alam dalam negeri.
Karena itu, hilirisasi industri ala Prabowo sebagaimana hilirisasi ala Jokowi akan memperkokoh dan memperluas monopoli dan perampasan tanah, eksploitasi sumber daya alam dalam intensitas dan skala yang lebih luas dan barbar, serta memicu krisis lingkungan ke tingkat yang lebih akstrim.
“Konservasi Alam” adalah Pelindung Praktek Monopoli Penguasaan Tanah dan Perampasan Tanah Rakyat
Istilah konservasi sejak awal selalu digunakan untuk memperluas monopoli dan perampasan tanah. Istilah konservasi selalu digunakan untuk membatasi akses rakyat atas ruang hidupnya baik di daratan maupun lautan. Atas nama konservasi, rakyat kerap dijadikan kambing hitam sebagai pelaku perusak lingkungan, dan harus menghadapi tindakan teror, kekerasan hingga berujung pada tindakan kriminalisasi.
Atas nama Konservasi Prabowo berencana terus meluaskan monopoli tanah dengan cara mempertahankan Taman Nasional yang sudah ada dan membangun Taman Nasional baru. saat ini, Gunung Slamet di Jawa Tengah telah masuk menjadi salah satu daftar nama calon Taman Nasional Baru untuk melengkapi jumlah taman Nasional yang hingga diakhir Periode Jokowi jumlahnya telah mencapai 56 Unit Taman Nasional.
Di kawasan laut, Prabowo juga berencana untuk meluaskan kawasan konservasi dengan melanjutkan project LAUTRA (Laut Untuk Kesejahteraan) yang sesungguhnya adalah proyek Debt Swap ala Bank Dunia yang telah dimulai sejak tahun 2023. Selain itu, Prabowo juga memasang target untuk mengurangi jumlah nelayan tangkap dengan mendorong peralihan dari nelayan tangkap ke nelayan budi daya. Kebijakan demikian ini, justru menempatkan pengusaha-pengusaha besar sektor perikanan sebagai pihak yang memegang kendali, dominasi dan mendapatkan keuntungab berlipat-lipat. Sedangkan, nelayan miskin tidak berubah hidupnya.
Untuk merealisasikan ambisinya yang menyedihkan itu, Prabowo tengah berupaya melanjutkan Projek Budi daya ikan Tuna di Biak-Papua, dimana sumber pendanaannya berasal dari Turki.
Dari gambaran tersebut diatas, maka semakin terang bahwa tidak ada Reforma Agraria yang bisa diharapkan rakyat dari Rezim Boneka Prabowo- Gibran. Prabowo-Gibran hanya akan melanjutkan semua skema penenindasan, penghisapan dan penipuan yang sebelumnya sudah dijalankan oleh pendahulunya.
Oleh karena itu, tugas mendesak rakyat adalah sesegera mungkin membangun kekuatan dan memperkokoh persatuan sesama rakyat sebagai syarat utama untuk mewujudkan Reforma Agraria Sejati.